Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada
Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut
ini syarah (penjelasan) hadits tentang niat. Semoga Allah
menjadikan penulisan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma
amin.
ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Dari Umar
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai
niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau
karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia
hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)
Syarh/penjelasan:
Imam
Bukhari menyebutkan hadits ini di awal kitab shahihnya sebagai mukadimah
kitabnya, di sana tersirat bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena
mengharap Wajah Allah adalah sia-sia, tidak ada hasil sama sekali baik di dunia
maupun di akhirat. Al Mundzir menyebutkan dari Ar Rabi’ bin Khutsaim, ia
berkata, “Segala sesuatu yang tidak diniatkan mencari keridhaan Allah ‘Azza
wa Jalla, maka akan sia-sia”.
Abu
Abdillah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits-hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak, kaya dan
dalamnya faidah daripada hadits ini”.
Abdurrahman
bin Mahdiy berkata, “Kalau seandainya saya menyusun kitab yang terdiri dari
beberapa bab, tentu saya jadikan hadits Umar bin Al Khatthab yang menjelaskan
bahwa amal tergantung niat ada dalam setiap bab”.
Mayoritas
ulama salaf berpendapat bahwa hadits ini sepertiga Islam. Mengapa demikian?
Menurut
Imam Baihaqi, karena tindakan seorang hamba itu terjadi dengan hati, lisan dan
anggota badannya, dan niat yang tempatnya di hati adalah salah satu dari tiga
hal tersebut dan yang paling utama. Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu
berdiri di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
Pertama, hadits
“Innamal a’maalu bin niyyah” (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan
niat).
Kedua, hadits
“Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa
yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu
tertolak).
Ketiga, hadits
“Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan yang
haram itu jelas).”
Di
samping itu, niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya
tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung
niat. Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa
naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah
disebabkan karena niatnya.
Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan
perumpamaan terhadap kaidah ini dengan hijrah; yaitu barang siapa yang
berhijrah dari negeri syirik mengharapkan pahala Allah, ingin bertemu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu syari’at
agar bisa mengamalkannya, maka berarti ia berada di atas jalan Allah (fa
hijratuhuu ilallah wa rasuulih), dan Allah akan memberikan balasan
untuknya. Sebaliknya, barang siapa yang berhijrah dengan niat untuk mendapatkan
keuntungan duniawi, maka dia tidak mendapatkan pahala apa-apa, bahkan jika ke
arah maksiat, ia akan mendapatkan dosa.
Niat
secara istilah adalah keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya
di hati bukan di lisan. Oleh karena itu, tidak dibenarkan melafazkan niat,
seperti ketika hendak shalat, hendak wudhu, hendak mandi, dsb.
Menurut
para fuqaha’ (ahli fiqh), niat memiliki dua makna:
- Tamyiiz (pembeda),
hal ini ada dua macam:
- Pembeda
antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Misalnya antara shalat
fardhu dengan shalat sunat, shalat Zhuhur dengan shalat Ashar, puasa
wajib dengan puasa sunnah, dst.
- Pembeda
antara kebiasaan dengan ibadah. Misalnya mandi karena hendak mendinginkan
badan dengan mandi karena janabat, menahan diri dari makan untuk kesembuhan
dengan menahan diri karena puasa.
- Qasd (meniatkan
suatu amal “karena apa?” atau “karena siapa?”)
Maksudnya
apakah suatu amal ditujukan karena mengharap wajah Allah Ta’ala saja
(ikhlas) atau karena lainnya? Atau apakah ia mengerjakannya karena Allah, dan
karena lainnya juga atau tidak?
Hukum niat
Niat
adalah syarat sahnya amal. Ibnu Hajar Al ‘Asqalaaniy berkata, “Para fuqaha
(ahli fiqh) berselisih apakah niat itu rukun1 (masuk ke dalam suatu
perbuatan) ataukah hanya syarat (di luar suatu perbuatan)? Yang kuat adalah
bahwa menghadirkan niat di awal suatu perbuatan adalah rukun, sedangkan istsh-habhukm/menggandengkan
dengan suatu perbuatan (tidak berniat yang lain atau memutuskannya2) adalah syarat.”
Pendapat
ulama salaf tentang pentingnya niat dan pentingnya mempelajari niat
Yahya bin
Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal”.
Abdullah bin Abi Jamrah berkata, “Aku ingin kalau seandainya di antara fuqaha
(ahli fiqh) ada yang kesibukannya hanya mengajarkan kepada orang-orang niat
mereka dalam mengerjakan suatu amal dan hanya duduk mengajarkan masalah niat
saja”. Sufyan Ats Tsauriy berkata, “Dahulu orang-orang mempelajari niat
sebagaimana kalian mempelajari amal”.
Sebagaimana
dikatakan oleh Yahya bin Katsir di atas bahwa niat lebih sampai daripada amal,
oleh karena itu Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dapat mengungguli
orang-orang Khawarij (kelompok yang keluar dari barisan kaum muslimin dan
memvonis kafir pelaku dosa besar) dalam hal ibadah karena niatnya, di samping
itu amalan yang kecil akan menjadi besar karena niatnya. Sehingga dikatakan,
“Memang Abu Bakr Ash Shiddiq dan sahabat-sahabat Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam dikalahkan ibadahnya oleh Khawarij, tetapi para
sahabat mengungguli mereka karena niatnya”. Ibnu Hazm mengatakan, “Niat itu
rahasia suatu ibadah dan ruhnya”.
Apa
maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Amal itu
tergantung niat?
”
Maksudnya
adalah sahnya suatu amal dan sempurnanya hanyalah tergantung benarnya niat.
Oleh karena itu apabila niat itu benar dan ikhlas karena Allah Subhaanahu wa
Ta’aala maka akan sah pula suatu amal dan akan diterima dengan izin Allah
Ta’ala. Atau bisa juga maksudnya adalah baiknya suatu amal atau buruknya, diterima
atau ditolaknya, mubah atau haramnya tergantung niat.
Apa
maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “Dan
seseorang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya?”
Maksudnya
adalah seseorang mendapatkan pahala atau siksa terhadap amalnya tergantung niatnya,
apabila niatnya baik maka akan diberi pahala, sebaliknya jika tidak baik maka
akan mendapat siksa.
Semoga
Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar